Sosok itu begitu dekat dan akrab
senyumnya selalu mengembang
ketulusannya terpancar dari wajahnya
ketanggguhan imannya mempesona setiap orang
kelurusan amaliyahnya begitu mengagumkan
tak pernah mata kami lelah memandangnya
tak pernah telinga kami jenuh mendengarnya
tak pernah hati kami mengelu-elukannya
tak pernah pikiran kami mengolah nasehatnya
tak pernah memory kami mengingat segala taushiahnya
namun..
yang dulu pegangannya tasbih dan pen tutul
sekarang lebih sering bersentuhan pen modern dan setir
yang dulu membawa alqur'an sekarang membawa ajudan
yang dulu bersorban sekarang ber jas'an
yang dulu sarungan sekarang celana rampingan
yang dulu kopyahan sekarang sisiran
yang dulu tausyihanya tanpa hambatan
sekarang setiap taushiah harus disesuaikan
yang dulu setia dengan dampar kuno
sekarang bertengger di meja dinas
yang dulu bersumber mutiara hikmah langit
sekarang mengejar mutiara lautan
yang dulu segarang singa hutan
sekarang hanya kucing kandangan
1999 adalah saksi bisu
dampar kami mulai lengang
madrasah kami mulai kebanjiran
bukan banjir keilmuan seperti dulu
tapi orang yang sibuk butuh kemenangan
orang yang butuh dukungan
bukan dukungan menuju tahta disurga
akan tetapi dukungan menuju tahta fana
hanya bosda/uang tak jelas yang mengalir
dekadensi moral menjadi petaka yang tak terperikan
dibalik warna mengandung banyak cerita
maasjid mulai berwarna
madrasah pun berwarna
tak ketinggalan, kopyah, sorban, sarung,
baju, imamah, sampai dada semua berwarna.
jangan berfikir sabun bisa mengatasinya
tangisan ummatpun tak sanggup menghapusnya
hinnga tak sanggup aku kenakan baju putih
tak sanggup aku kenakan kopyah putih
biarlah pemandangan ini sedikit memberitahu mereka.
noda....
keramat, karomah, atau tirakat
jika dulu sosok yang kami banggakan tidak kunjung datang
demi kepentingan ummat, ketika keluarpun layaknya singa
sekarang sosok itu abagaikan marmut
keraiban dari dampar dan majlis tak lagi beralasan seperti dulu
menggiliri istri atau jumpa pers atau klien bisnis suara.
jangan berfikir suara lantang atau halilintar
tangisan dan raungan ummat pun
sudah tak mmapu memecahkan gendang telinganya.
harapan kami masih seperti dulu
kemauan kami masjih seperti dulu
kembalilah wahai sosok mulia
mutiara langitmu telah dinanti oleh tandusnya hati ummatmu
oase keiikhlasanmu masih di nanti oleh tandusnya gurun pasir
jika engkau tak menahan melihat lumpur yang mmebanjir
cukup kau ciptakan cleaner saja
dan tak perlulah harus menceburkan diri
mencoba menahannya dengankedua tanganmu yang mungil
kembalilah wahai pujangga
atau kami telah berfikir, bahwa oasemu telah menjadi ladang lumpur
yang setiap waktu bisa membanjiri rumah-rumah kami?
jika demikian, lupakan saja raungan tangisan kami
lupakan saja lambaian tangan kami
biarkan kami bersimpuh di musholla-musholla kecil kami
melantunkan sedikit dari apa yang kami bisa
membentengi anak-anak kami
dengan kuatnya iman yang pernah engkau ajarkan.
naga hijau